Powered By Blogger

Kamis, 19 Maret 2015

Pekerjaan yang Halal bukan pekerjaan yang asal-asalan, bukan pekerjaan yang mudah mengalirkan uang. Yang terpenting berkahnya dan kehalalannya. Perbaguslah Cara Mencari Rezeki

Mencari Pekerjaan yang Halal
Seorang muslim dituntut untuk mencari pekerjaan yang halal, bukan pekerjaan yang asal-asalan, bukan pekerjaan yang mudah mengalirkan uang. Yang terpenting berkahnya dan kehalalannya.
Perbaguslah Cara Mencari Rezeki
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).
Dalam hadits tersebut terdapat dua maslahat yang diperintahkan untuk dicari yaitu maslahat dunia dan maslahat akhirat. Maslahat dunia dengan pekerjaan yang halal, maslahat akhirat dengan takwa.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan alasan kenapa dua hal itu digabungkan. Beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara maslahat dunia dan akhirat dalam hadits “Bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki.” Nikmat dan kelezatan akhirat bisa diraih dengan ketakwaan pada Allah. Ketenangan hati dan badan serta tidak rakus dan serakah pada dunia, dan tidak ada rasa capek dalam mengejar dunia, itu bisa diraih jika seseorang memperbagus dalam mencari rezeki.
Oleh karenanya, siapa yang bertakwa pada Allah, maka ia akan mendapatkan kelezatan dan kenikmatan akhirat. Siapa yang menempuh jalan yang baik dalam mencari rezeki (ijmal fii tholab), maka akan lepas dari rasa penat dalam mengejar dunia. Hanyalah Allah yang memberikan pertolongan.” (Lihat Al Fawaid, hal. 96).
Berarti jika kita mendapatkan keuntungan dunia dan akhirat serta tidak ada rasa letih dalam mencari nafkah, maka cukupkanlah diri pada pekerjaan yang halal.
Jatah Rezeki Tetap Ada
Dari Ibnu Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
”Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah As Shahihah no. 2866)
Hadits di atas ini sebagai penjelas bahwa yang dimaksud memperbagus dalam mencari rezeki adalah bekerja dengan mencari yang halal.

Sesungguhnya hanya orang-orang sabar yang Bersabarlah yang di cukupkan pahala mereka tanpa batas

Keadaan dalam Menghadapi Musibah
Bagaimana kita bisa bersabar dalam menghadapi musibah? Bagaimana keadaan manusia dalam menghadapi musibah? Pasti ada keadaan yang tercela dan ada yang terpuji.
Keadaan Manusia dalam Menghadapi Musibah
Para ulama menyebutkan bahwa seseorang dalam menghadapi musibah ada empat keadaan.
Keadaan pertama adalah murka (marah) yaitu seseorang menampakkan rasa marah baik pada lisan, hati atau anggota badannya. Seseorang yang murka pada Allah dalam hatinya yaitu dia merasa benci (murka) pada Allah dan dia merasa bahwa Allah telah menzaliminya dengan ditimpakan suatu musibah. –Kita berlindung pada Allah dari perbuatan semacam ini-
Adapun seseorang merasa murka lisannya seperti dia mencaci maki waktu (masa) sehingga menyakiti Allah.
Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Sedangkan murka dengan anggota badannya adalah seperti seseorang menampar-nampar pipinya, memukul-mukul kepalanya sampai merobek-robek bajunya atau semacam itu.
Inilah yang dilakukan oleh orang-orang Syiah ketika bulan Muharram tepatnya pada hari Asyura dalam rangka meratapi kematian Husein. Mereka tidak bersabar, malah memukul-mukul bahkan mengeluarkan darah dari badan-badan mereka. Ini bukanlah sabar, namun perbuatan semacam ini berarti murka terhadap musibah.
Orang-orang yang murka semacam ini tidak akan mendapatkan ganjaran dari musibah yang menimpanya, tidak terselamatkan dari musibah bahkan akan mendapatkan dosa. Orang semacam ini menjadi tertimpa dua musibah (kerugian) di dunia yaitu dengan kemurkaannya dan musibah yang menyakiti dia sendiri. Dalam hadits disebutkan mengenai orang yang melakukan kelakukan tidak sabar dengan merusak diri, yaitu hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103).
Perbuatan tersebut termasuk niyahah dan ancamannya berat. Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
« أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).
Keadaan kedua adalah sabar dengan menahan diri terhadap musibah yang dihadapi. Keadaan kedua ini adalah dia merasa benci dengan musibah dan tidak pula menyukai kejadian seperti itu terjadi tetapi dia menahan diri dengan tidak menggerutu dengan lisannya yang bisa membuat Allah murka padanya, dia juga tidak marah sehingga memukul-mukul anggota badannya, dia juga tidak menggerutu dalam hatinya.
Keadaan ketiga adalah ridha terhadap musibah. Yaitu seseorang merasa lapang hatinya dengan musibah yang menimpa, dia betul-betul ridha dan seakan-akan dia tidak mendapatkan musibah. Hukum sabar adalah wajib dan ridha adalah mustahab (dianjurkan).
Keadaan keempat adalah bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpa. Keadaan seperi inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat (mendapatkan) sesuatu yang dia sukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
‘[Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihat] Segala puji hanya milik Allahyang dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna.’ Dan ketika beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
‘[Alhamdulillah ala kulli hal] Segala puji hanya milik Allah atas setiap keadaan’.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Keadaan terakhir inilah tingkatan tertinggi dalam mengahadapi musibah yaitu seseorang malah mensyukuri musibah yang menimpa dirinya. Keadaan seperti inilah yang didapati pada hamba Allah yang selalu bersyukur kepada-Nya, dia melihat bahwa di balik musibah dunia yang menimpanya ada lagi musibah yang lebih besar yaitu musibah agama. Dan ingatlah musibah agama tentu saja lebih berat daripada musibah dunia karena azab (siksaan) di dunia tentu saja masih lebih ringan dibandingkan siksaan di akhirat nanti. Karena musibah dapat menghapuskan dosa, maka orang semacam ini bersyukur kepada Allah karena dia telah mendapatkan tambahan kebaikan.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah rasa capek, rasa sakit (yang terus menerus), kekhawatian, rasa sedih, bahaya, kesusahan menimpa seorang muslim sampai duri yang menusuknya kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan musibah tersebut.” (HR. Bukhari no. 5641)
Sabar di Awal Musibah
Sabar yang menjadikan seseorang mendapatkan ganjaran pahala adalah sabar ketika di awal musibah dan inilah sabar yang benar. Adapun sabar sesudahnya adalah cuma sekedar hiburan. Perhatikanlah hadits berikut.
Dari Anas bin Malik beliau berkata,
مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »
”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berkata,”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari no. 1283)
Musibah itu Tanda Allah Cinta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya balasan terbesar adalah dari ujian terberat. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridho, maka Allah pun ridho. Dan barangsiapa murka, maka baginya murka Allah.” (HR. Tirmidzi, beliau katakana hadits ini hasan ghorib)

Berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ini memang amat berat, bagai mereka yang memegang bara api.

Mereka yang Memegang Bara Api


Berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ini memang amat berat, bagai mereka yang memegang bara api.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama hingga meninggalkan dunianya, ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara (nyala) api.
Ath Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah.
Sedangkan Al Qari mengatakan bahwa sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.
Itulah gambaran orang yang konsekuen dengan ajaran Islam saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, begitu sulitnya dan begitu beratnya. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam. Demikianlah resikonya. Namun nantikan balasannya di sisi Allah yang luar biasa andai mau bersabar.
Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).
Sebagaimana disebut dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, Al Auza’i menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa ditimbang dan tak bisa ditakar. Itulah karena saking banyaknya.
Ibnu Juraij menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa terhitung (tak terhingga), juga ditambah setelah itu.
Sedangkan As Sudi menyatakan bahwa balasan orang yang bersabar adalah surga.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

1 Hari di Akhirat sama dengan 1000 Tahun di Dunia

1 Hari Akhirat = 1000 Tahun di Dunia
Satu hari di akhirat sama dengan seribu hari di dunia. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan,
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj: 47). Oleh karenanya, setengah hari di akhirat sama dengan 500 tahun di dunia.
Adapun firman Allah Ta’ala,
فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun” (QS. Al Ma’arij: 4). Ayat ini menunjukkan pengkhususan dari maksud umum yang sebelumnya disebutkan atau dipahami bahwa waktu tersebut begitu lama bagi orang-orang kafir. Itulah kesulitan yang dihadapi orang-orang kafir,
فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ (8) فَذَلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيرٌ (9) عَلَى الْكَافِرِينَ غَيْرُ يَسِيرٍ (10)
“Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (QS. Al Mudatsir: 8-10).

Cari Blog Ini

Wikipedia

Hasil penelusuran